Jakarta, (bisnisnasional.com) – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang menetapkan tarif impor reciprocal sebesar 32% terhadap produk dari Indonesia dan sejumlah negara ASEAN lainnya, telah memicu kekhawatiran atas dampak serius terhadap perekonomian Indonesia dan khususnya iklim persaingan usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti potensi guncangan besar bagi pelaku usaha dalam negeri, khususnya sektor ekspor dan pelaku usaha kecil-menengah (UMKM), serta menegaskan pentingnya respons strategis yang terkoordinasi antara Pemerintah dan KPPU.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPPU, Aru Armando dalam konferensi pers yang dilaksanakan hari ini di Kantor KPPU Jakarta.
Dalam pendalaman yang dilakukan KPPU, dinilai ada 4 (empat) dampak kebijakan tarif terhadap persaingan usaha di Indonesia. Pertama, KPPU menilai bahwa tarif tinggi dari AS akan melemahkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global. Komoditas unggulan seperti minyak sawit, tekstil, alas kaki, elektronik, karet, dan kopi terancam kehilangan pasar karena menjadi lebih mahal dibanding produk dari negara pesaing, seperti Malaysia yang hanya dikenakan tarif 24%.
KPPU juga menilai bahwa pasar domestik akan terancam oversupply dan serbuan produk impor murah. Situasi ini akan memicu pelimpahan stok ke pasar dalam negeri akibat penurunan permintaan ekspor, yang berpotensi menurunkan harga komoditas lokal dan merugikan petani serta pelaku UMKM.
Di sisi lain, Indonesia juga berisiko menjadi sasaran limpahan produk murah dari Tiongkok yang terkena tarif tinggi di AS. Produk-produk seperti elektronik, besi baja, furnitur, hingga kendaraan diperkirakan akan membanjiri pasar Indonesia dengan nilai potensi mencapai USD 221,6 miliar.
Dalam kondisi pasar yang oversupply, KPPU memperingatkan potensi maraknya praktik predatory pricing, strategi menjual barang di bawah harga pasar untuk menguasai pasar.
Dampak ketiga adalah industri yang berfokus pada ekspor ke AS juga berpotensi mengalami pengurangan produksi dan pemutusan hubungan kerja akibat penurunan pesanan dari pasar AS. Sehingga berpotensi menyebabkan PHK atau penutupan pabrik. Kondisi ini juga membuka celah bagi akuisisi oleh investor asing. Hal ini dapat mengubah struktur pasar domestik dan mengganggu keseimbangan persaingan usaha.
Oleh karena itu, KPPU menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap merger dan akuisisi, serta koordinasi erat dengan Kementerian Hukum, Kementerian Perindustrian, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
“Koordinasi dan sinergi pengawasan merger dan akuisisi antara KPPU dengan Pemerintah atau berbagai regulator sangat dibutuhkan dimasa ini. Jika perlu, KPPU dan Pemerintah harus memiliki stratefi pengawasan yang dilakukan bersama untuk mengawasi potensi merger dan akuisisi yang merugikan,” tegas Aru.