Surabaya, (bisnisnasional.com) – Ternyata peran media dalam isu gender sangat penting. Media menjadi salah satu wadah yang dapat menggiring masyarakat terkait isu gender. Isu gender sendiri menjadi topik bahasan yang menarik dan hangat dalam bimbingan teknis (bimtek) yang diadakan Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) pekan lalu.
Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat dari KPPA, Indra Gunawan mengatakan, peran media sangat besar, karena dapat mengedukasi masyarakat, termasuk menghentikan diskriminasi terhadap perempuan.
“Tidak hanya media, hal ini juga membutuhkan peran aktif semua pihak seperti pemerintah dan masyarakat. Dan ini harus terus digaungkan,” katanya.
Dalam bimtek tersebut, hadir para jurnalis perempuan dari beberapa kota di Jawa Timur.
Pakar Gender, Sri Wahyuni berpendapat yang sama terkait peran media terhadap isu gender. Ia menyimpulkan bahwa media bisa menggiring opini masyarakat terhadap apa itu gender. Jadi pemahaman gender bagi SDM media itu penting, supaya mereka tidak salah dalam memberikan pengertian tentang gender itu sendiri.
Gender sebenarnya adalah relasi pembagian peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Namun banyak yang berpikir keliru dengan mengaitkan gender dengan tugas dan kewajiban perempuan, misalnya harus bisa memasak, menjahit. Padahal laki-laki juga bisa melakukannya.
Ia menambahkan, Relasi itu harus setara, ada kesadaran yang sama terhadap peran dan tanggung jawab. Gender jadi masalah jika menimbulkan ketidakadilan gender.
Yuni membicarakan tentang budaya patriarkhi yang menonjolkan dominasi laki-laki. “Cara berpikir patriarkhi cenderung menempatkan perempuan di bawah laki-laki, misalnya perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Padahal banyak perempuan yang pintar dan mampu menjadi pemimpin. Dan kadang pun kita juga berfikir seperti itu,” katanya.
Tanpa kita sadari, masyarakat umumnya juga menganut stereotype yang memberikan kebebasan penuh kepada laki-laki, namun membatasi perempuan. Laki-laki ‘serba boleh’, sedangkan perempuan tidak.
“Inilah diskriminasi yang sudah biasa terjadi. Dibanyak media pun masih banyak para jurnalis yang melakukan hal demikian. Misalnya tentang kasus perkosaan yang diberitakan besar-besaran dengan identitas cukup terang, sehingga membuat keluarganya dan korban sendiri semakin menderita dan trauma berkepanjangan,” terangnya.
“Karena itu, jurnalis harus sensitif terhadap berita-berita demikian. Harus memiliki empati kepada korban agar jangan membuat korban dan keluarganya mengalami penderitaan bertubi-tubi,” imbuhnya.
Ia berharap, para jurnalis baik perempuan maupun laki-laki untuk membangun berita yang baik dan responsif gender. Tulislah berita dari perspektif berbeda, yang berempati terhadap perempuan.
apembicara kedua pimpinan redaktur IDN Times, Uni Lubis mengangkat tentang jurnalisme responsif gender. Ia melihat masih ada pandangan diskriminatif di kalangan media. Misalnya, bila jurnalis laki-laki ingin maju dan mencapai posisi puncak dianggap bagus. Sedangkan bila jurnalis perempuan ingin seperti itu dianggap ambisius.
Uni juga menyinggung tentang peluang yang tak dimanfaatkan atau terpaksa diabaikan jurnalis perempuan, karena tak memiliki support system. Padahal peluang tersebut dapat meningkatkan karir atau posisi mereka. Hal ini membuat perusahaan dan atasan akhirnya tidak mempromosikan jurnalis perempuan, karena dianggap tidak berani, tak mampu.
“Banyak diantara kaum jurnalis perempuan yang mrothol, karena tak punya support system,” jelasnya.
Mereka sering kali menolak tugas luar, dengan bebetapa aladan seperti punya bayi, tak ada orang tua atau mertua yang bisa dititipi anak. Mereka memilih bekerja di kantor saja, karena tak diizinkan suami. Bisa juga suami minta istri tidak meliput sampai malam atau meliput bidang tertentu, misalnya politik yang dianggap rawan.
“Ayo kita bersama-sama para jurnalis perempuan untuk lebih peka dalam meliput dan menulis berita, sehingga menghasilkan berita yang membangun,” pungkasnya. (nisa)