Jakarta, (bisnisnasional.com) – Geliat literasi membaca di negeri ini semakin terasa riaknya. Hal ini terlihat dari keterlibatan beragam elemen yang turut memberikan kontribusi nyata meningkatkan daya literasi generasi muda, terutama anak-anak usia sekolah dan pra-sekolah. Para komunitas pegiat literasi turut berperan menggerakan masyarakat melalui berbagai kegiatan. Pemerintah aktif mengupayakan regulasi, sarana dan prasarana, kampanye melalui Gerakan Literasi Nasional, serta pengintegrasian pengajaran literasi kritis melalui kurikulum. Sedangkan penulis dan penerbit menjadi ujung tombak penyedia bahan bacaan.
Hal itu jadi sebuah kebanggaan bagi penulis buku saat karyanya dibacakan pada sebuah event berskala nasional. Dampaknya, nama si penulis semakin dikenal. Selain itu, pihak penerbit pun merasa terhormat ketika buku terbitannya digunakan dalam kegiatan pengembangan literasi seperti ini, terutama pada kegiatan yang populer saat ini yaitu membaca nyaring atau read aloud. Dari sisi sosial, penerbit bisa dikatakan turut membantu memberikan paparan buku berkualitas kepada hadirin. Dalam skala yang lebih luas, ini artinya buku terbitannya membantu menambah khazanah sastra anak di negeri ini.
Namun disadari atau tidak, euforia bertumbuhnya kegiatan-kegiatan literasi masyarakat ini sering kali dicederai oleh kelalaian yang menyebabkan pelanggaran terhadap undang-undang hak cipta yang menyebabkan kerugian terselubung bagi para pemegang hak cipta atas karya-karya yang digunakan. Kelalaian ini bisa disebabkan oleh ketidakpedulian pencipta dan pemegang hak cipta, maupun kurangnya pemahaman masyarakat terhadap undang-undang hak cipta ini.
Menduplikasi dan menampilkan keseluruhan isi buku, lalu menampilkan dan merekamnya secara live online streaming, untuk kemudian diunggah pada media sosial adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian terselubung bagi pencipta dan pemegang hak cipta.
Pimpinan dari Clavis Indonesia dan Penerbit BIG, Winda Susilo menyampaikan pengalamannya bahwa beberapa waktu lalu, sebuah buku cerita yang diterbitkan oleh pihaknya dibacakan secara nyaring di atas panggung di depan umum, berlatar belakang sebuah monitor yang memamerkan isi buku yang telah direkam secara elektronik (scan) dari awal hingga akhir. Acara pun disiarkan secara langsung (live) dan rekaman diunggah ke dalam media sosial oleh penyelenggara pada tanggal 30 September 2022 lalu.
“Kejadian seperti ini membuat penulis, ilustrator, dan penerbit berhak merasa keberatan dan kecewa. Ini bukan pertama kali karya penerbit diumumkan sepenuhnya di media sosial tanpa izin,” katanya.
Saat menyuarakan keberatannya, beberapa sambutan bukanlah mendukung perjuangan mereka dalam menegakkan hak cipta, malah dikatakan tidak mendukung kegiatan literasi. Menurutnya arti literasi yang sesungguhnya bukan berarti bisa membaca dan menulis. Menjadi orang yang paham literasi harusnya memiliki pengetahuan luas termasuk tentang peraturan dan perundang-undangan, menghargai dan menghormati karya orang lain. Penerbit memiliki harapan agar semua pihak berhati-hati dalam membuat konten yang mereview sebuah buku.
Winda menambahkan, pihaknya berupaya melakukan secara konsisten dan berkesinambungan dengan berbagai pihak agar proses edukasi dalam menghormati hak cipta orang lain dapat mencapai tujuannya sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat dan menjadikannya bagian dari budaya bangsa. Pihaknya juga mengimbau kepada semua pihak untuk membiasakan diri menghormati hak cipta yang dilindungi undang-undang.
“Kami selalu terbuka dan mendukung semua kegiatan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Minta lah izin terlebih dahulu sebelum menggunakan karya cipta kami sesuai adab yang baik dan benar agar tidak terjadi kesalahpahaman,” tuturnya.
Ia pun menegaskan bahwa pihaknya tidak akan segan mengambil tindakan tegas untuk pelanggaran dan membawanya ke jalur hukum dengan tujuan memberikan efek jera pada pelaku. (in)